Belitang: Jejak Sejarah di Tanah Transmigrasi Sumatera Selatan
Saat senja perlahan merambat di cakrawala Belitang, semerbak aroma tanah basah dan semilir angin persawahan seakan membawa kita menembus waktu, kembali ke dekade-dekade lampau. Di wilayah yang kini dikenal sebagai salah satu lumbung pangan utama di Sumatera Selatan ini, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan hidup, harapan, serta dinamika sosial yang jarang diketahui oleh khalayak luar. Belitang bukan sekadar sebuah nama kecamatan, tetapi saksi bisu dari perjalanan sejarah transmigrasi terbesar di Indonesia, yang meninggalkan warisan budaya dan peradaban hingga generasi kini.
Sejarah dan Asal Usul Belitang
Belitang terletak di kawasan timur Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan. Wilayah ini mulai mencuat ke permukaan nasional ketika ditetapkan sebagai salah satu lokasi program transmigrasi pada masa Orde Baru, sekitar dekade 1960-an hingga 1980-an. Program tersebut bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, sekaligus membuka dan mengembangkan wilayah-wilayah luar Jawa, termasuk Sumatera. Ratusan kepala keluarga dari berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta diberangkatkan ke Belitang, membawa harapan akan kehidupan yang lebih baik serta kesempatan memiliki lahan pertanian yang luas. Meski demikian, di balik optimisme itu, mereka harus menghadapi berbagai tantangan berat, mulai dari hutan lebat, binatang buas, ancaman malaria, hingga keterbatasan sarana dan prasarana. Lambat laun, Belitang mengalami kemajuan pesat. Wilayah yang dulunya berupa rimba dan rawa, kini menjelma menjadi kawasan pertanian subur dengan ribuan hektare sawah dan perkebunan. Belitang bahkan dikenal sebagai salah satu sentra penghasil beras terbesar di Sumatera Selatan, yang berperan penting memenuhi kebutuhan pangan regional.
Kekayaan Budaya dan Tradisi
Perpaduan antara para transmigran asal Jawa dan masyarakat lokal Komering serta Ogan melahirkan warna budaya baru di Belitang. Hingga kini, tradisi seperti kenduri, wayang kulit, reog, kuda lumping, serta selamatan panen masih rutin digelar, berdampingan harmonis dengan tradisi adat setempat seperti begubag dan beguai begawe. Di sejumlah desa transmigrasi, bahasa Jawa masih lestari dalam percakapan sehari-hari, sedangkan dalam kegiatan adat atau pasar tradisional, masyarakat biasa menggunakan bahasa Komering. Kehidupan multikultural ini menjadi ciri khas Belitang, dengan masyarakatnya yang tetap menjunjung nilai gotong royong dan adat ketimuran.
Peninggalan Sejarah dan Warisan Leluhur
Meski tak banyak memiliki situs purbakala, Belitang menyimpan sejumlah peninggalan sejarah yang bernilai, seperti Masjid Tua Martapura yang didirikan oleh para transmigran pertama sebagai pusat ibadah sekaligus tempat bermusyawarah. Selain itu, beberapa lokasi bekas permukiman awal di wilayah Belitang I, II, dan III masih menyisakan peninggalan barak kayu dari masa program transmigrasi. Di Desa Bantan Pelita, sebuah rumah kayu tua yang dulu berfungsi sebagai pos administrasi transmigrasi pertama, hingga kini masih dipelihara warga setempat. Tempat tersebut menjadi simbol sejarah sekaligus sumber cerita perjuangan bagi generasi muda setempat.
Belitang Masa Kini: Dari Wilayah Terpencil Menuju Sentra Ekonomi
Kini, Belitang telah berkembang menjadi daerah yang maju. Pembangunan infrastruktur seperti jalan, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya terus meningkat. Pasar tradisional dan pusat perdagangan hasil bumi tak pernah sepi aktivitas, menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat. Di sektor pertanian, beras Belitang dikenal unggul dan bahkan telah dipasarkan hingga ke luar Sumatera Selatan. Kawasan ini juga mulai dilirik investor untuk pengembangan industri pengolahan hasil pertanian. Pemerintah Kabupaten OKU Timur menetapkan Belitang sebagai contoh keberhasilan program transmigrasi nasional sekaligus pilar ketahanan pangan daerah. Festival Budaya Belitang pun rutin digelar untuk memperkenalkan seni, tradisi, serta kuliner lokal kepada masyarakat luas.
Meski berbagai kemajuan telah dicapai, masyarakat Belitang tetap menjaga kesadaran pentingnya melestarikan sejarah transmigrasi dan warisan budaya nenek moyang mereka. Sejumlah komunitas pemuda mulai aktif mendokumentasikan kisah para pendahulu, merawat rumah-rumah kayu peninggalan transmigrasi, serta menyelenggarakan festival tradisi desa demi menjaga identitas budaya. Seperti diungkapkan Sugeng Wahyudi, ketua komunitas Belitang Heritage Society:
"Kami ingin generasi muda Belitang selalu ingat bahwa leluhur mereka datang ke sini dengan perjuangan berat. Di tanah ini, keringat, air mata, dan harapan mereka tertanam. Itu semua harus kita jaga bersama."
Belitang bukan sekadar tentang hamparan sawah luas dan hasil panen berlimpah. Di baliknya tersimpan kisah panjang tentang migrasi, adaptasi budaya, dan keberhasilan membangun peradaban baru di tanah rantau. Sejarah Belitang adalah cerita tentang asa yang tumbuh dari tanah, hujan, dan semangat manusia. Sebuah warisan yang patut dikenang, diceritakan, dan dijadikan inspirasi bagi generasi masa depan.
Komentar
Posting Komentar